
Pelajaran Hidup
Eka Riyana, Bekasi

Hari Rabu kemarin saat sedang antre di poliklinik dokter THT di RS Dharmais, saya berbincang dengan seorang ibu yang berasal dari kotanya Jokowi: Solo, Jawa Tengah. Ibu ini sedang mengantar bapak mertuanya. Bapak Mertuanya, sama seperti saya, menderita kanker nasofaring dan menurut ibu tersebut, harus diangkat pita suaranya sehingga terancam menjadi bisu selamanya. Alhadulillah, saya tidak sampai mengalami sejauh itu.
Yang menarik hati saya bukan cerita mengenai bapak mertuanyatersebut, melainkan cerita tentang anak lelakinya. Ibu tersebut menuturkan bahwa dia baru saja kehilangan anak sulungnya setengah tahun yang lalu. Anak yang dibanggakannya. Anak dari ibu ini kuliah di fakultas kedokteran. Anaknya ini menderita penyakit lupus, penyakit langka yang belum tahu cara pengobatannya. Sebagai mahasiswa kedokteran, ia tentu tahu apa yang harus dihadapinya.
Si ibu bercerita, anaknya ini sangat kuat mentalnya, berusaha meyakinkan bundanya bahwa dia tahu apa yang harus dilakukan dan memperbanyak kebaikan di sisa umurnya. Anaknya tetap ingin menyelesaikan kuliahnya karena ingin membahagiakan orang tua. Hal tersebut dibuktikan dengan IPK terakhir 3,4. Kata ibu ini, anaknya aktif di organisasi sosial PMI, rajin membina PMR dan komunitas lupus. Kegiatan terakhir yang dilakukan berhasil mengumpulkan ratusan kantong darah.
Pada bulan puasa tahun lalu, si anak berulang tahun ke-20. Beberapa hari kemudian, tepatnya hari jumat pagi, anaknya mandi kemudian berwudhu. Si ibu bertanya "Kenapa kamu berwudhu? Bukankah waktu shalat masih lama?" Sang anak menjawab "Enggak apa-apa, saya cuma ingin dalam kondisi berwudhu." Sejurus kemudian, sang anak ingin buang air besar. "Bu kok perutku gak enak ya rasanya, aku ingin buang air besar." Ibu menjawab :"Sudah nak, kamu buang air ditempat tidur saja, ibu ambilin pispot."
Tidak lama setelah buang air, sang anak ingin buang air kecil. Sang ibu buru-buru mengambil pispot kembali, namun terlambat karena anaknya sudah mengompol di kasur. Sang Ibu berkata "Gak papa nak, ibu akan bersihkan".
"Aku ingin berwudhu, Bu". Jawab anaknya
"Sudahlah nak tayamum saja, nggak apa-apa, kamukan lagi sakit..." Balas sang Ibu.
Akhirnya si anak hanya tayamum. Selang beberapa waktu kemudian, kondisi anak semakin menurun. Beberapa kantung darah yang dimasukkan ke tubuhnya tak mampu menahan kehendak yang di Atas. Tepat di hari Jumat jam 11 di bulan Ramadhan, anak dar menghadap yang Maha Kuasa.
" Saya ikhlas dengan penyakit anak saya, tapi yang membuat hati saya menangis adalah ketegaran anak saya menghadapi kondisinya" kata sang Ibu dengan mata berkaca kaca.
Masya Allah.... terbayang bagaimana rasanya ketika tiba-tiba kematian menjadi terasa dekat.... Saya salut dengan kekuatan mental anak Sang Ibu. Hal ini membuat lingkungannya tenang dan bersiap diri mengumpulkan sebanyak mungkin kebaikan di sisa waktu yang ada. Meninggal dalam kondisi berwudhu, dalam kondisi suci, di hari Jumat itu menjadi dambaan umat muslim. Bertambah lagi kekayaan hati dengan mendengarkan cerita ibu tersebut... kita tidak boleh kalah oleh penyakit...
Benar kata orang tua kita “Wong urip iku mung mampir ngombe” (Orang hidup itu hanya mampir minum) . Manfaatkan sisa umur kita dengan sebaik baiknya.
Tetap semangat teman-teman seperjuangan survivor cancer...
SELAMAT HARI KANKER SEDUNIA .....
Kembali ke Cerita Lain